Saya merupakan seorang mahasiswi Fakultas Hukum, dengan fokus studi Ilmu Hukum di Universitas Pamulang
Pajak Bukan Semata Soal Regulasi, tapi Juga Kepercayaan Publik
4 jam lalu
Torgler (2017) yang menyatakan bahwa tingkat kepatuhan pajak sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis dan persepsi manfaat publik.
***
Pajak selalu menjadi topik sentral dalam wacana pembangunan ekonomi. Tidak ada negara modern yang dapat bertahan tanpa sistem perpajakan yang kuat, adil, dan transparan. Di Indonesia, pajak bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan juga simbol kedaulatan ekonomi yang menentukan sejauh mana negara mampu membiayai kebutuhannya secara mandiri.
Sayangnya, ketergantungan tinggi pada penerimaan pajak belum diimbangi dengan tingkat kepatuhan wajib pajak yang memadai. Di sinilah muncul paradoks: negara membutuhkan pajak untuk membangun, tetapi masyarakat kerap memandang pajak sebagai beban, bukan kontribusi bersama.
Secara filosofis, pajak dapat dipandang sebagai manifestasi modern dari nilai gotong-royong dalam budaya Indonesia. Bila dahulu masyarakat bersama-sama membangun jalan desa atau fasilitas umum, kini kontribusi itu diwujudkan dalam bentuk pajak yang dikelola negara. Namun, pergeseran ini menimbulkan jarak emosional karena masyarakat tidak secara langsung melihat hasil kontribusi mereka. Hal ini sejalan dengan analisis Torgler (2017) yang menyatakan bahwa tingkat kepatuhan pajak sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis dan persepsi manfaat publik.
Salah satu masalah mendasar adalah keadilan. Sistem pajak progresif di Indonesia seharusnya menjamin bahwa mereka yang berpenghasilan besar membayar lebih banyak. Namun, dalam praktiknya, kelompok menengah justru sering merasa paling terbebani karena sektor informal dan praktik penghindaran pajak dari korporasi besar masih marak terjadi (Rahman, 2020). Akibatnya, rasa keadilan publik terganggu, yang pada akhirnya menurunkan tingkat kepatuhan.
Perkembangan teknologi digital membawa peluang besar bagi reformasi pajak. Sistem e-filing, e-bupot, dan rencana implementasi core tax administration system diharapkan mampu meningkatkan transparansi sekaligus memudahkan wajib pajak. Penelitian oleh Yusuf & Siregar (2022) menunjukkan bahwa digitalisasi pajak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kepatuhan, terutama di kalangan generasi muda yang terbiasa dengan layanan daring. Meski demikian, teknologi bukanlah solusi tunggal—tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang tegas, kebocoran pajak tetap akan terjadi.
Dalam opini penulis, inti persoalan perpajakan di Indonesia bukan semata-mata sistem atau regulasi, melainkan kepercayaan publik (tax morale). Masyarakat akan rela membayar pajak jika yakin bahwa uang mereka dikelola dengan transparan dan digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk korupsi atau pemborosan birokrasi. Dengan kata lain, legitimasi moral dalam pengelolaan pajak harus diperkuat melalui akuntabilitas yang nyata.
Pajak seharusnya tidak dipandang sebagai beban, melainkan sebagai bentuk kontribusi warga negara dalam menjaga kedaulatan ekonomi. Tantangan terbesar Indonesia bukan hanya memperluas basis pajak, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa pajak adalah instrumen keadilan sosial. Digitalisasi dapat menjadi alat bantu, tetapi kunci utamanya adalah membangun kepercayaan publik. Apabila kepercayaan ini tumbuh, maka kepatuhan akan hadir bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran kolektif. Dengan demikian, pajak benar-benar dapat menjadi fondasi kedaulatan dan kemandirian ekonomi bangsa.
Daftar Pustaka
Rahman, A. (2020). "Keadilan Pajak dan Tantangan Ekonomi Informal di Indonesia." Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 20(1), 55–70.
Torgler, B. (2017). Tax Compliance and Morality: A Comparative Analysis. Edward Elgar Publishing.
Yusuf, M., & Siregar, A. (2022). "Digitalisasi Pajak dan Dampaknya terhadap Kepatuhan Wajib Pajak di Era Ekonomi Digital." Jurnal Kebijakan Fiskal, 5(2), 112–128.

Mahasiswi Universitas Pamulang
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler